« on: June 24, 2007, 10:17:07 PM » | |
Adalah sebuah keniscayaan yang sulit terbantahkan bahwa paham globalisasi, sudah ada dalam kehidupan kita. Fenomena kapitalisme global terus berkembang dengan cepat. Terlepas setuju atau tidak, siap atau tidak, dimana ekspansi kapitalisme global sulit terhalangi lagi dan akan menjadi basis uniformitas budaya mondial, saat ini maupun di masa datang. Ekspansi itu terus merambat ke seluruh sektor kehidupan, termasuk di dalamnya pendidikan. Bentuk ekstrim dari ekspansi kapitalisme global dalam bidang pendidikan adalah membawa lembaga pendidikan menjadi mesin pencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat materialistik.
Banyak orang di Indonesia kesulitan mencari kerja, sementara itu katanya di luar negeri banyak lowongan kerja terutama untuk bidang yang berhubungan dengan teknologi informasi (TI). Betulkah demikian ?. Memiliki kepribadian yang kompeten, pengalaman internasional di era globalisasi, kemampuan berbahasa Inggris yang fasih serta etos kerja yang baik merupakan kriteria-kriteria yang harus dipersiapkan oleh calon tenaga kerja untuk sukses dalam menempuh kehidupan karir mereka.
Mengutip sebuah survey yang telah dilakukan oleh PT Work IT Out yang dipimpin oleh Heru Nugroho, meski masih banyak dibutuhkan di dalam negeri, peluang kerja bagi tenaga kerja TI untuk keluar negeri pun terbuka luas, Kesempatan tetap terbuka, apalagi didukung oleh faktor bergesernya dominasi India yang dikenal sebagai sumber SDM TI, tawaran gajinya pun cukup menggiurkan. Bayangkan, untuk tenaga kerja TI kelas pemula sampai menengah, perusahaan di luar negeri berani menawarkan upah sekitar US$ 400 sampai US$ 600 (sekitar Rp 3, 6 juta sampai Rp 5,5 juta) per bulan. Di kelas yang sama di dalam negeri, paling mereka hanya ditawarkan gaji sekitar Rp 900.000 sampai Rp 2,5 juta per bulannya. Itu baru yang pemula. Untuk yang sudah punya keahlian spesifik dan berpengalaman, di luar negeri gajinya bisa mencapai US$ 2.000 - 2.500 (sekitar Rp 18,2 juta sampai 22,7 juta) per-bulan. 3 kali lipat dibanding didalam negeri yang pasarannya Rp 7 s.d 10 juta.
Bidang kerja TI yang terbuka pun beragam dan hampir sama dengan yang ada di lokalan. Kebetulan kebanyakan yang dicari adalah engineer untuk networking dan wireless serta programmer. Kelihatannya trend yang sedang terjadi adalah orang atau perusahaan ingin membuat perangkat networking seperti produk dari Cisco. Untuk itu memang dibutuhkan banyak orang yang dapat membuat program dalam level C, C++ dengan real-time OS dan memiliki latar belakang (pengetahuan) di bidang telekomunikasi dan networking. Lowongan webmaster, UNIX administrator pun tidak sedikit. Jenis-jenis lowongan pekerjaan yang ditawarkan sangat banyak. Hanya saja, tenaga TI yang memiliki kemampuan terspesialisasi seringkali dicari, sayangnya agak susah mencari tenaga kerja yang sudah spesifik ini.
Nah, kalau melihat situasi seperti itu akan sangat mengenaskan jika orang Indonesia yang bergerak di bidang Teknologi Informasi tidak bisa mendapatkan pekerjaan semacam itu. Masalahnya memang tidak mudah. Mungkin memang kemampuan hasil perguruan tinggi di Indonesia belum memadai ? Berapa banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mampu menghasilkan "software engineer" yang handal ?
Sebagai gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri software baik di luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. kita ambil contoh negara lain seperti Jerman. Mengapa negara sekaliber Jerman mesti mendapat suplai tenaga TI dari luar negaranya ? Kurang sumber daya ? Dugaan itu ternyata betul. Perkembangan pesat teknologi informasi memang tidak hanya membuat ketar-ketir negara dunia ketiga, negara "dunia pertama" macam Jerman pun mulai merasakan akibatnya: kekurangan pakar TI yang tidak bisa didapatkan dari kalangan sendiri. Maklum, jumlah yang dibutuhkan juga tak bisa dibilang sedikit. Tercatat saat ini sekitar 75.000 orang diperlukan oleh Jerman. Itu baru Jerman, belum negara lain. Tahukah Anda ternyata negara sebesar dan semaju Amerika Serikat pun masih mengimpor tenaga TI dari negara-negara di Asia, seperti India dan Cina. Nah, ini namanya peluang & globalisasi karir di bidang TI.
Sedangkan Tenaga IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan industri pada tahun 2010 target produksi 8.195.33 US $, dengan asumsi produktifitas 25.000 perorang, dibutuhkan 327.813 orang. Menurut Bapak Aizirman Djusan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Departemen Komunikasi dan Informatika dalam presentasinya di acara Workshop Sertifikasi Telematika, di Semarang, memaparkan bahwa Kebutuhan & Ketersediaan SDM Telematika di Indonesia adalah sebagai berikut :
Kesenjangan Kebutuhan dan Ketersediaan SDM-ICT
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Kebutuhan 24,6 jt 26,4 jt 28,2 jt 30,3 jt 32,6 jt
Ketersediaan 8,2 jt 10,7jt 13,4 jt 16,4 jt 19,8 jt
Jml.Penduduk 225,0 jt 236,2 jt 248,1 jt 260,5 jt 273,5 jt
Data diatas menunjukkan, bahwa dari tahun ke tahun kebutuhan SDM Telematika semakin meningkat, dan Indonesia perlu memiliki strategi yang tepat untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik dari segi jumlah maupun kualitas (kompetensi).
Peluang kerja di bidang Teknologi Informasi lainnya, yang saat ini masih banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan baik di dalam maupun di luar negeri adalah : IT Help Desk, AutoCAD Drafter, Sales, Project Manager, Computer Operator, Teknisi Komputer, WebMaster, Web Chief Editor, Web Administrator, Manager Web Content, Unix Admnistration Manager, Director Software, Java Developer, Network Manager, System Architect. (sumber : www.i2bc.org/news/itnews3.html & www.jobsdb.com )
Sebagai kesimpulan, lulusan tenaga profesi dan sarjana di bidang Telematika masih sangat banyak dibutuhkan untuk mendukung kemajuan di segala bidang (ekonomi, pertanian, industri, instansi pemerintah, pendidikan dll) dan lowongan ini tersedia bukan hanya di Indonesia namun juga di manca negara. Untuk mengisi lowongan ini, lulusan jelas dituntut untuk memiliki kompetensi standar dan sertifikasi tingkat nasional atau internasional di bidang Telematika (ICT) dan bukan hanya sekedar gelar S1, S2 atau S3. Perguruan Tinggi harus menyiapkan lulusannya tidak hanya dengan gelar, namun juga siap mengikuti ujian sertifikasi nasional (Cisco) maupun internasional (Oracle/Microsoft)